Rabu, 03 Juli 2013

Asal Mula Filsafat Dan Sosiologi


Kelahiran Positivisme: Para Filsuf Pasca-Revolusi dan Auguste Comte

Situasi intelektual di Prancis abad ke-19 sangat berbeda dari situsai Pencerahan abad ke-18. Kalau pada zaman Pencerahan terdapat kecenderungan yang kuat untuk melawan agama, di abad ke-19 para filsuf Prancis mulai menghargai kembali peranan dimensi rohani manusia. Dalam hal ini mereka banyak menyerap pengaruh cita-cita spiritual idealisme Jerman yang berkembang pada abad yang sama. Sebuah aliran terpenting pada abad ini adalah positivisme, dengan tokoh Auguste Comte. Aliran ini menjadi cikal bakal ilmu pengetahuan tentang masyarakat atau sosiologi. Sekilas tampak perbedaan mencolok antara idealisme dan positivisme. Idealisme mendukung metafisika, sedangkan positivisme menolak metafisika. Kalau dipelajari lebih jauh, akan jelas bahwa kedua-duanya sama-sama spekulatif. Di balik kedok “filsafat positif”, aliran yang anti metafisika itu tidak jauh dari metafisika. Dengan demikian perbedaan keduanya bersifat ideologis. Sementara idealisme Jerman dengan sifat konservatif berusaha memodifikasi metafisika tradisional dengan wajah rasional, positivisme – dengan semangat sekularistis progresif hasil Pencerahan – berusaha merekonstruksi sebuah sistem pengetahuan ilmiah yang dapat menjelaskan realitas sebagai keseluruhan (ini pretensi metafisis). Di balik perbedaan itu diam-diam keduanya sepakat untuk menemukan sebuah sistem integritas yang bersifat rohaniah yang dapat mengutuhkan kembali kebudayaan dan masyarakat yang mengalami krisis akibat modernisasi.
Sebelum kita memperbincangkan positivisme Comte, lebih dulu kita tilik secara umum situasi intelektual Prancis pasca-Revolusi 1789 yang ikut merintis kelahiran positivisme.

Situasi Filsafat Prancis Pasca Revolusi

Revolusi Prancis memang diwarnai banyak teror dan pertumpahan darah, tetapi sebuah cita-cita lama kebudayaan Barat dicapai dalam Revolusi ini, yakni: penegasan akan kebebasan manusia. Dipandang dari sudut modernis, Revolusi memperluas Reformasi religius pada abad ke-16 ke bidang sosial dan politik. Cita-cita modernitas yang sudah mulai didasarkan pada zaman Renaisans seakan-akan terwujud secara sosial-politis dam Revolusi ini. Realitas yang sama ternyata bisa dinilai dari dua sudut pandang yang bertolak belakang. Demikianlah juga, di Prancis muncul para pemikir yang disebut “Tradisionalis”. Dari sudut pandang tradisionalis, Revolusi merupakan ancaman serius terhadap integrasi sosial dan dasar-dasar religius bagi moralitas manusia. Meski berlainan, baik kaum pendukung maupun pengkritik Revolusi sebenarnya sama-sama produk Pencerahan.

Kaum Tradisionalis

Di antara kaum Tradisionalis, terdapat tokoh-tokoh masyhur seperti: De Maistre, De Bonald, Chateaubriand, Lamennais. Count Joseph De Maistre (1753-1821) adalah seorang tokoh konservatif yang sangat getol menyerang konsep kemajuan. Dalam Soirees de St. Petersbourg, ia antara lain berpendapat bahwa ilmu pengetahuan hanya sahih untuk menjelaskan fenomena-fenomena fisik, dan bukan untuk menjelaskan agama. Yang bisa menciptakan tatanan dan kemajuan bukan ilmu, melainkan iman, lebih khusus lagi iman Katolik. Disini ia ingin menemukan sebuah dasar religius yang hilang karena modernisasi. Atas dasar anggapan ini dia menganggap Reformasi sebagai kejahatan terbesar umat manusia. Dia juga mengecam pedas para filsuf Pencerahan, khususnya Voltaire. De Bonald (1754-1840), dalam Primitive Legislation, lebih jauh lagi berusaha menemukan sebuah “basis religius” yang dia temukan dalam bahasa. Bahasa adalah “fakta primitif”. Bahasa lalu dilihatnya sebagai sarana transmisi pewahyuan Ilahi yang pada gilirannya mendasari masyarakat dan manusia. Chateaubriand (1768-1848) juga terhitung diantara kaum Tradisionalis. Dalam Genie du Christianisme, dia membela agama Kristen dengan pertimbangan-pertimbangan estetis. Agama Kristen itu benar karena indah dan iman Kristen itu menghibur. De Lamennais (1782-1854) juga sejalan dalam membela agama Kristen. Dia berpendapat bahwa agama adalah basis moral masyarakat, dan tanpanya masyarakat akan hancur.
Mereka yang Disebut “Les Ideologue”
Para pendukung Revolusi yang paling menonjol adalah apa yang menamakan diri “les ideologues” (kaum ideolog). Julukan ini diambil dari buku salah seorang tokohnya, Destutt de Tracy (1754-1836). Elements d’ideologie. Istilah ini belum memiliki makna peyoratif seperti sekarang. “Ideologi” dimengerti sebagai studi-studi mengenai asal-usul ide-ide yang terungkap dalam bahasa dan penalaran. Bersama dengan rekan-rekannya, De Volney (1757-1820) dan Cabanis (1757-1808), de Tracy meneruskan gagasan-gagasan Pencerahan, khususnya dalam pikiran Condillac. Akan tetapi, mereka tak setuju dengan Condillac, karena dia mempelajari ide-ide dengan cara mereduksi segala proses mental (perasaan, memori, memutuskan, menghendaki) kepada sensasi-sensasi. Proses mental itu bersifat dasariah dan reduksi atasnya hanya dibuat-buat saja. Manusia sebenarnya aktif dan tidak pasif dalam menghasilkan pengetahuannya. Dari kemampuan menghasilkan putusan terbentuklah gramatika dan logika. Jadi, bagi mereka aktifitas dan kehendak itu penting bagi pengetahuan, lebih dari sekedar sensasi-sensasi. Dari kemampuan menghendaki dan merasakan lahirlah etika. Kaum ideolog ini lalu mempengaruhi pemikiran Maine de Biran (1766-1824). Filsuf ini juga menekankan metode introspeksi. Dia mengganti diktum Cartesian “Saya berpikir, maka ada” menjadi “Saya merasa, maka ada”.

Ide-Ide Sosialistis dan Re-Organisasi Sosial

Ada kelompok intelektual lain yang juga mendukung Revolusi. Jika kaum ideolog mendukung dengan gagasan-gagasan yang “metafisis”, kelompok ini ingin memberi saran praktis untuk pembaruan masyarakat. Mereka disebut “kaum sosialis”. Menurut mereka ini, Revolusi sudah sukses menghasilkan kebebasan (liberte), namun persamaan (egalite) dan persaudaraan (fraternite) harus diwujudkan melalui teori sosial. Mereka adalah Fourier, Saint-Simon dan Proudhon.
Francois Marie Charles Fourier (1772-1837) mengikuti Rousseau dengan pandangannya bahwa kebudayaan borjuis adalah cacat kemanusiaan, karena di dalamnya berkuasa egoisme dan kepentingan diri yang akan menghancurkan masyarakt. Masyarakat borjuis diciptakan dari represi dan nafsu, sehingga juga melenyapkan dua nafsu penting untuk kohesi sosial; cinta dan kekeluargaan. Akibatnya, harmoni masyarakat terancam runtuh. Saran yang diajukan Fourier adalah reorganisasi masyarakat yang memungkinkan penyaluran nafsu-nafsu sosial. Dia lalu memberi contoh organisasi kelompok masyarakat yang disebut “phalanx”. Yang diutopikan dengan “phalanx” disini adalah sebuah kelompok dengan anggota antara 1500-2000 orang dengan berbagai kemampuan. Dalam kelompok ini setiap individu bebas memilih pekerjaan yang disukainya atau meninggalkan yang tak disukainya. Di dalamnya ada kompetisi, tapi harmoni tetap dominan, sehingga tak akan ada perang. Pandangan ini adalah utopianisme.
Claude-Henri de Saint-Simon (1760-1825) berpendapat bahwa filsafat Pencerahan abad ke-18 sudah menghancurkan sistem religius dan feodalisme. Karena itu filsafat abad ke-19 harus menciptakan sebuah sistem integrasi baru yang cocok dengan masyarakat ilmiah dan industrial. Ide pentingnya di sini adalah ‘reorganisasi’ masyarakat menurut kaidah-kaidah ilmiah yang sudah disuburkan oleh Pencerahan. Menurutnya, ilmu pengetahuanlah yang menghancurkan kekuasaan Gereja dan menghasilkan sekularisasi, maka untuk reorganisasi sosial ilmu-ilmu alam harus diperluas ke bidang-bidang sosial kemanusiaan. Dia lalu mengusulkan sebuah ilmu baru, yaitu “fisiologi sosial”, sebuah perluasan dari fisika Newton pada masyarakat. Perluasan ini menurutnya, akan menyelesaikan transisi dari sistem integrasi intelektual tradisional ke sistem integrasi ilmiah modern. Meskipun masyarakat abad ke-19 berada dalam situasi transisi, Saint-Simon optimis bahwa masyarakat industri akan menjadi sebuah masyarakat yang penuh kedamaian dan haroni asal diorganisasikan secara ilmiah.
Meskipun mendukung Revolusi, sikap Fourier dan Saint-Simon sebenarnya senada dengan kaum Tradisionalis. Kedua pihak sama-sama mengusulkan sebuah reorganisasi sosial, hanya bentuk integrasinya berbeda: kaum Tradisionalis kembali pada institusi-institusi tradisional, dan kedua sosialis ini memandang ke depan ke institusi-institusi masyarakat industrial. Kecenderungan untuk menciptakan integrasi baru ditolak oleh Piere-Joseph Proudhon (1809-1865), sehingga dia dikenal sebagai “anarkis”. Dia menolak sebuah organisasi sosial dengan pemerintahan sentral. Peranan negara harus dihapus dalam ekonomi. Dalam bukunya System of Economics Contradictions, dia menegaskan hak milik sebagai “pencurian” yang secara spontan menciptakan masyarakat, tapi sekaligus juga dapat membentengi masyarakat dari Negara. Hak milik melindungi otonomi dan kesamaan. Menurutnya, Revolusi berhasil menciptakan kebebasan politis, namun gagal memberi kebebasan ekonomis. Karena itu sesuadah Revolusi, organisasi politik harus dialihkan ke organisasi ekonomis. Organisasi ekonomis itu tidak dilakukan oleh Negara, melainkan melalui kontrak-kontrak bebas oleh individu-individu swasta. Istilah ‘anarki’ baginya lalu dimengerti sebagai penghapusan peranan Negara dalam ekonomi. Dia membayangkan masyarakat dapat menyelaraskan kepentingan individu dan kepentingan umum dan harmoni itu tidak perlu dijaga oleh Negara, sebab masyarakat  industri sendiri akan memeliharanya dengan kontrak-kontrak bebas.
Marx kemudian hari menilai Proudhon dan kaum sosialis Prancis sebagai “utopis”. Meski demikian, pemikiran mereka, khususnya Saint-Simon, mempersiapkan kelahiran sebuah aliran penting yang dirintis oleh Comte, yaitu positivisme.
Bapak Positivisme: Auguste Comte (1789-1857)
Auguste Comte adalah figur yang paling representatif untuk positivisme sehingga dia dijuluki Bapak Positivisme. Pada tahun terjadinya Revolusi, filsuf ini dilahirkan di kota Montpellier dari sebuah keluarga bangsawan yang beragama Katolik. Dalam usia 25 tahun, dia studi di Ecole Polytecnique di Paris dan sesudah dua tahun di sana dia mempelajari pikiran-pikiran kaum ideolog, tapi juga Hume dan Condorcet. Saint-Simon menerimanya sebagai sekretarisnya, dan sulit dipungkiri bahwa pemikiran Saint-Simon  mempengaruhi perkembangan intelektual Comte. Mereka cocok dengan pandangan bahwa reorganisasi masyarakat bisa dilakukan dengan bantuan ilmu pengetahuan baru tentang perilaku manusia dan masyarakatnya. Pada tahun 1826, Comte sudah menemukan proyek filosofisnya sendiri dan mulai mengajarkannya di luar pendidikan resmi. Untuk selanjutnya, dia juga tak pernah menduduki jabatan resmi di kampus. Dia juga sempat sakit keras karena kerja keras, dan perkawinannya gagal. Bahkan dia sempat mencoba bunuh diri, tapi gagal. Adikaryanya yang paling termasyhur adalah Cours de Philosophie Positive dalam enam jilid. Dalam tulisan-tulisannya dia mengusahakan sebuah sintesis segala ilmu pengetahuan dengan semangat positivisme, tetapi usaha itu tidak rampung, sebab pada tahun 1857 dia meninggal dunia. Ketika ia meninggal, para muridnya dalam kelompok yang didirikannya, Societe Positiviste menghormatinya sebagai orang kudus positivisme, yakni imam agung kemanusiaan.
Istilah Positivisme
Istilah “positivisme” diperkenalkan oleh Comte. Istilah itu berasal dari kata “positif”. Dalam prakata Cours de Philosophie Positive, dia mulai memakai istilah “filsafat positif” dan terus menggunakannya dengan arti yang konsisten di sepanjang bukunya. Dengan “filsafat” dia mengartikan sebagai “sistem umum tentang konsep-konsep manusia”, sedangkan “ positif diartikannya sebagai “teori yang bertujuan untuk ‘penyusunan fakta-fakta yang teramati’ ”. dengan kata lain, “positif” sama dengan “faktual”, atau apa yang berdasarkan fakta-fakta. Dalam hal ini, positivisme menegaskan bahwa hendaknya tidak melampaui fakta-fakta. Dalam penegasan itu lalu jelas yang ditolak positivisme, yakni metafisika. Penolakan metafisika disini bersifat definitif. Dalam kritisismenya, Immanuel Kant masih menerima adanya “das Ding an sich”, obyek yang tidak bisa diselidiki pengetahuan ilmiah. Comte menolak sama sekali bentuk pengetahuan lain, seperti etika, teologi, seni, yang melampaui fenomena yang teramati. Baginya, objek adalah yang faktual. Satu-satunya bentuk pengetahuan yang sahih mengenai kenyataan hanyalah ilmu pengetahuan.
Fakta dimengerti sebagai “fenomena yang dapat diamati”, maka sebenarnya positivisme terkait erat dengan empirisme. Akan tetapi, sementara empirisme masih menerima adanya pengalaman subjektif yang bersifat rohani, positivisme menolaknya sama sekali. Yang dianggap sebagai pengetahuan sejati hanyalah pengalaman objektif yang bersifat lahiriah, yang bisa diuji secara indrawi. Karena itu, positivisme adalah ahli waris empirisme yang sudah diradikalkan dalam Pencerahan Prancis.

Perkembangan Sejarah Manusia Melalui Tiga Tahap

Sejak abad ke-17, dan meruncing pada abad ke-18, perkembangan ilmu-ilmu alam dengan model fisika Newton mempengaruhi pemikiran filosofis. Di atas sudah kita singgung bahwa kehancuran tatanan feodal dan Gereja tradisional, dan juga sistem metafisika, membuat para pemikir abad ke-19 cenderung menemukan sistem integrasi baru. Salah satu caranya adalah membuat sebuah rekonstruksi historis tentang sistem pengetahuan manusia melalui tahap-tahap sehingga secara reflektif jelas kesatuannya dalam setiap tahap. Asumsi pokoknya adalah bahwa perkembangan pengetahuan, seperti yang tampil dalam perkembangan ilmu-ilmu alam, berjalan progresif, niscaya, dan linear. Filsuf Prancis abad ke-18 Condercet dan Turgot, sudah mencoba rekonstruksi macam itu, dan di abad ke-19, Saint-Simon juga membuat. Rekonstruksi macam itu menemukan bentuknya yang paling komprehensif dalam filsafat Comte.
Dalam Cours de Philosophie Positive, Comte menjelaskan bahwa munculnya ilmu-ilmu alam tak bisa dipahami secara terlepas dari sejarah perkembangan pengetahuan umat manusia dari abad ke abad. Sejarah pengetahuan itu berkembang melalui tiga tahap yang ia sebut “tahap teologis”, “tahap metafisis”, dan “tahap positif”.  Ketiga tahap itu dipahami Comte sebagai tahap-tahap perkembangan mental umat manusia sebagai suatu keseluruhan, dan menurut Comte, juga bersesuaian dengan tahap-tahap perkembangan individu dari masa kanak-kanak, memalui masa remaja, ke masa dewasa. Baiklah kita ikuti tahap demi tahap.
Dalam tahap teologis, menurut Comte, umat manusia mencari sebab-sebab terakhir di belakang peristiwa-peristiwa alam dan menemukannya dalam kekuatan-kekuatan adimanusiawi. Kekuatan-kekuatan ini, entah disebut dewa atau Allah, dibayangkan memiliki kehendak atau rasio yang melampaui manusia. Zaman ini lalu dibagi menjadi tiga sub-bagian. Pada sub-tahap yang paling primitif dan kekanak-kanakan, yaitu tahap fetisisme atau animisme, manusia menganggap objek-objek fisik itu berjiwa, berkehendak, berhasrat. Pada tahap berikutnya, politeisme, kekuatan-kekuatan alam itu diproyeksikan dalam rupa dewa-dewa. Akhirnya, pada tahap monoteisme, dewa-dewa dipadukan menjadi satu kekuatan adimanusiawi yang disebut Allah.
Dalam tahap metafisis, umat manusia berkembang dalam pengetahuannya seperti seseorang melangkah pada masa remajanya. Kekuatan adimanusiawi dalam tahap sebelumnya itu sekarang diubah menjadi abstraksi-abstraksi metafisis. Misalnya: konsep “ether”, “causa”, dst. Dengan demikian, peralihan ke tahap ini diselesaikan sesudah seluruh konsep mengenai kekuatan-kekuatan adimanusiawi diubah menjadi konsep-konsep abstrak mengenai Alam secara keseluruhan. Tidak ada lagi Allah dan dewa-dewa; yang ada adalah entitas-entitas abstrak yang metafisis.    
Akhirnya, umat manusia mencapai kedewasaan mentalnya dalam tahap positif. Pada zaman ini umat manusia tidak lagi menjelaskan sebab-sebab di luar fakta-fakta yang teramati. Pikiran hanya memusatkan diri pada yang faktual yang sebenarnya bekerja menurut hukum-hukum umum, misalnya hukum gravitasi. Baru pada tahap inilah ilmu pengetahuan berkembang penuh. Ilmu pengetahuan tidak hanya melukiskan yang real, tapi juga bersifat pasti dan berguna.
Comte juga mencoba menghubungkan tahap-tahap mental tersebut dengan bentuk-bentuk organisasi sosial. Tahap teologis dihubungkannya dengan absolutisme, misalnya otoritas absolut raja dan golongan militer. Pada tahap metafisis, absolutisme raja dihancurkan dan diganti dengan kepercayaan akan hak-hak abstrak rakyat dan hukum. Akhirnya, pada tahap positif, organisasi masyarakat industri menjadi pusat perhatian. Ekonomi menjadi primadona,  dan kekuasaan elite intelektual muncul. Mereka ini menduduki peran organisator sosial, dan bagi Comte, sosiologi merupakan ilmu baru yang dapat mereka pakai untuk mengorganisasikan masyarakat industri.
Rekonstruksi historis Comte ini di kemudian hari mulai ditanggapi secara kritis. Kebanyakan kritikus mempersoalkan kenetralan rekonstruksi itu. Comte memang mahir dalam menafsirkan sejarah Eropa dari abad ke abad dengan sebuah pretensi untuk menjadi objektif. Akan tetapi, kalau diperhatikan lebih jauh akan jelas bahwa dia membaca sejarah Eropa dari sudut pandang tertentu, yaitu sudut pandang positivistis. Pertama, dia menilai sejarah masa lalu dengan kriteria pengetahuan ilmiah yang baginya adalah satu-satunya kebenaran yang dituju segala bentuk pengetahuan. Kedua, seperti Hegel, dia juga ingin memandang filsafat positif sebagai tujuan sejarah, sehingga dia tidak siap menerima kemungkinan adanya tahap post-positivisme. Demikianlah di samping munculnya neo positivisme Lingkungan Wina, banyak filsuf abad ke-20 mengambil sikap kritis terhadap positivisme.

Klasifikasi Ilmu Pengetahuan

Sudah kita ikuti bagaimana Comte melukiskan kemajuan pengetahuan manusia. Kemajuan itu bagaimanapun harus ditunjukkan pada perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan konkret. Karena itu Comte juga berusaha mengklasifikasikan ilmu-ilmu yang ada. Menurut Comte, semua ilmu pengetahuan memusatkan diri pada kenyataan faktual, dan karena kenyataan faktual itu berbeda-beda, harus ada perbedaaan sudut pandang dari ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, terjadi pengkhususan dalam ilmu pengetahuan. Untuk menetapkan ilmu-ilmu khusus, Comte berusaha menemukan ilmu-ilmu yang bersifat fundamental, artinya dari ilmu-ilmu itu diturunkan ilmu-ilmu lain yang bersifat terapan. Dalam adikaryanya itu, Comte menyebutkan enam ilmu fundamental, yakni: matematika, astronomi, fisika, kimia, fisiologi, biologi, dan fisika sosial (atau sosiologi).
Keenam ilmu dasar itu diurutkan sedemikian rupa sehingga mulai dari yang paling abstrak ke yang paling konkret, yang lebih , kemudian tergantung pada yang terdahulu. Misalnya, matematika lebih abstrak dari astronomi, dan astronomi tergantung pada matematika. Fisiologi dan biologi menyelidiki hukum-hukum umum yang mengatur makhluk hidup, dan keduanya tergantung pada kimia yang menyelidiki perubahan zat, tapi juga lebih abstrak daripada sosiologi dan diandaikan oleh sosiologi. Sebagai ilmu pengetahuan terakhir, menurut Comte, sosiologi baru berkembang sesudah ilmu-ilmu lain menjadi matang. Sebaliknya sebagai pangkal, matematika bagi Comte adalah model metode ilmiah bagi ilmu-ilmu lainnya. Akan tetapi baru dalam sosiologi, menurut Comte, ilmu-ilmu mencapai tahap positifnya, yakni: secara penuh memakai metode ilmiah untuk menyelidiki fakta yang paling konkret, yakni: perilaku sosial manusia. Dalam hal ini dia mengklaim dirinya sebagai orang yang membawa ilmu pengetahuan ke tahap positifnya dalam sosiologi (istilah ‘sosiologi’ ini dari Comte).
Dalam hierarki ilmu-ilmu di atas kita tidak melihat psikologi, dan etika. Dalam anggapannya, psikologi yang ilmiah itu mustahil, sebab psikologi adalah refleksi manusia atas rohnya sendiri, dan roh ini bukan fakta positif, melainkan pengalaman subjektif. Pada zaman Comte psikologi lebih dipahami sebagai psikologi introspektif. Dia belum melihat perkembangan psikologi menjadi psikologi eksperimental. Lalu, bagaimana dengan etika? Etika dalam arti ilmu normatif tentang apa yang seharusnya ada jelas melampaui yang faktual. Dalam arti ini etika tidak bisa masuk dalam hierarkinya. Akan tetapi, Comte lalu memperlakukan etika sebagai ilmu tambahan untuk merumuskan hukum-hukum yang memungkinkan kita meramalkan dan merencanakan susunan sosial. Dalam arti ini, etika menjadi tambahan untuk sosiologi.

Sosiologi Sebagai Titik Kulminasi Perkembangan Ilmiah

Sudah disinggung bahwa sosiologi adalah puncak perkembangan ilmu. Pernyataan ini mengandung dua arti. Secara historis, sosiologi adalah ilmu pengetahuan terakhir yang muncul. Karena muncul dalam tahap positif, sosiologi ini sudah bersih dari macam-macam kepercayaan teologis dan filosofis. Dia menjadi ilmu otonom yang paling matang dalam menjelaskan realitas. Secara metodologis, sosiologi juga berada di puncak, sebab ia menyelidiki manusia dalam kehidupan sosialnya beserta aneka kebutuhannya. Artinya, segala pendekatan ilmiah mengabdi sosiologi untuk menjelaskan objeknya. Dengan anggapan ini, Comte sama sekali tidak memaksudkan bahwa ilmu-ilmu lain lebur dalam sosiologi, melainkan bahwa sosiologi dapat mengorganisasikan mereka untuk berfungsi menjelaskan objek kajiannya.
Selanjutnya Comte membagi sosiologi menjadi dua, yaitu: statika sosial dan dinamika sosial. Masyarakat adalah kenyataan yang tertata tetapi juga yang berubah. Statika sosial mempelajari tatanan sosial itu dengan segala hukum yang mengaturnya. Misalnya soal pembagian kerja, koordinasi kepentingan umum, solidaritas sosial. Dinamika sosial mempelajari huku-hukum perubahan dan kemajuan sosial. Bagian ini erat kaitannya dengan statika sosial, sebab perubahan tanpa tatanan melahirkan anarki, dan tatanan tanpa perubahan adalah stagnasi. Kemajuan, bagi Comte, melekat pada tatanan sosial. Soalnya sekarang bagaimana memprediksi perubahan. Dinamika sosial berusaha menemukan jawabannya. Dengan demikian, buat Comte, sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang memiliki ‘maksud praktis’. Maksudnya, dengan mengetahui tatanan (statika sosial), sosiologi dapat mengarahkan perkembangan masyarakat ke sebuah susunan yang lebih baik (dinamika sosial). Termasyhur semboyan Comte dalam hal ini: “Voir pour prevoir” (Melihat untuk meramalkan). Dengan kata lain, ide tentang ‘rekayasa sosial’ sudah terkandung dalam filsafatnya, dan ini erat kaitannya dengan tema re-organisasi sosial masyarakat industri yang sudah muncul dalam pikiran Saint-Simon.
Agama Kemanusiaan atau Agama Positivitas
Filsafat positif Comte pada akhirnya memberikan gambaran tentang bagaimana masyarakat industri diorganisasikan. Di atas sudah disinggung bahwa menurut Comte, para organisator dalam masyarakat industri adalah elite intelektual, yakni para filsuf positivistis dan para ilmuwan. Mereka ini dianggapnya sebagai pemilik pengetahuan sejati. Di sini jelas bahwa Comte tidak mendukung demokrasi. Massa-rakyat pada dasarnya tidak tahu apa-apa, maka kehendak mereka didasari ketidaktahuan itu. Bahkan Comte melihat manfaat dalam sistem paternalistis Gereja abad pertengahan. Perana elite rohaniwan Gereja itu dalam masyarakat positif digantikan oleh elite positivistis. Artinya, mereka ini memegang peranan absolut sebagai organisator dan pengontrol masyarakat. Dan memang Comte lalu melukiskan kedudukan elite baru ini dengan kosa kata agama Katolik Roma. Misalnya, elite itu dilukiskan sebagai imam-imam agung ilmu pengetahuan yang menggantikan posisi paus dan uskup dalam Gereja.
Masyarakat positif Comte pada gilirannya menjadi masyarakat agama baru, dan memang Comte sendiri terang-terangan ingin mendirikan agama baru yang disebutnya “agama kemanusiaan” atau “agama positivistis”. Dalam agama baru itu, moralitas tertinggi adalah cinta dan pengabdian pada kemanusiaan. Allah abad pertengahan diganti dengan “le Grand Etre” (Ada Agung), yakni: Kemanusiaan (dengan huruf besar). Dia juga bahkan menyusun sebuah kalender untuk merayakan “para santo Kemanusiaan”, membayangkan tempat-tempat ibadah, patung-patung, sakramen-sakramen sosial, dst.; semua ini paralel dengan unsur-unsur ritual agama Katolik.

Metafisika Implisit dalam Positivisme

Dari filsafat Comte ini kita dapat menyaksikan sebuah gejala yang ganjil dari pikiran manusia. Pertama-tama kita menyaksikan bahwa metode positivistis memang ampuh untuk menghancurkan metafisika dan teologi tradisional. Dengan mengklaim bahwa pengetahuan yang benar itu hanya mengenai yang faktual, positivisme seolah-olah sudah menumbangkan metafisika. Kalau kita periksa lebih jauh akan kelihatan, klaim bahwa pengetahuan yang benar hanyalah mengenai yang faktual pada gilirannya akan menjadi radikal dalam klaim bahwa kenyataan itu adalah yang faktual. Radikalisasi macam ini memang tampak dalam rekonstruksi historis Comte, bahwa tahap positif merupakan tahap paling final untuk memahami kenyataan. Kenyataan adalah yang faktual. Dengan klaim implisit ini Comte sebenarnya melakukan sebuah ‘metafisika implisit mengenai yang faktual’. Klaim implisit itu lalu malah menjadi lebih jelas lagi dalam ajaran agama positivitasnya tentang “le Grand Etre”. Istilah bagi Allah baru ini adalah sebuah abstraksi atas manusia-manusia individual, lalu seluruh realitas. Kalau sedang tidak berteologi, sekurang-kurangnya dengan ajaran ini Comte diam-diam bermetafisika. Jadi, dia surut kembali ke tahap metafisika yang dikritiknya sendiri.
Bibliografi:
Copleston, Frederick, A History of Philosophy (Late Medieval and Renaissance Philosophy), Image Books, New York 1953
Helferich, Christoph, Geschicte der Philosophie. Von den Anfangen bis zur gegenwart und Oestliches Denken, DTV, Munchen, 1992
Diakses pada tanggal 28/09/2008
   


Materi Adminitrasi Klasik dan Adminitrasi Modern Semester 2 Adminitrasi Negara


1.    ADMINITRASI KLASIK
Wilson menguraikan dua alasan pokok yang mendasari anjurannya ke arah pembentukan studi administrasi publik klasik. Alasan pertama adalah kepentingan di dalam membantu mengefektifkan dan mengefisienkan pemerintah. Wilson menyatakan bahwa pada abad ke-19 Amerika Serikat telah mencapai perkembangan yang kompleks dalam fungsi dan struktur organisasi pemerintah. Fungsi pemerintah dari hari ke hari menjadi makin kompleks dan rumit, jumlah unit organisasinya meningkat berlipat ganda. Kompleksitas pemerintah ini merupakan fungsi dari kemajuan korporasi masyarakat, kompleksitas perdagangan dan spekulasi komersial, eskalasi dalam pertentangan antara majikan dan pekerja industri, dan tuntutan kebutuhan jasa pos dan rel kereta api (Wilson, 1887:199-201).
Alasan kedua adalah kepentingan untuk melakukan Amerikanisasi atas pendekatan-pendekatan administrasi Eropa. Wilson mengakui bahwa ilmu tentang organisasi dan metode-metode jabatan pemerintahan sudah lama berkembang di Eropa, terutama di Perancis dan Jerman. Melalui system trans-atlantik, telah banyak warganegara Amerika yang memperoleh gelar doktor di Eropa untuk bidang-bidang tersebut (Wilson, 1887:201-202). Juga telah banyak hasil-hasil studi dan pengujian emprik mengenai cara-cara dan sarana pelaksanaan pemerintahan yang dikirimkan oleh berbagai penerbit di Eropa ke perpustakaan di Amerika Serikat (Wilson, 1887:203).
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diidentifikasi beberapa karakteristik administrasi publik klasik era Wilson, sebagai berikut:
1.    Ilmu administrasi publik adalah anak dari ilmu politik.
2.    Administrasi publik berkiprah di dalam pemerintahan.
3.    Administrasi publik adalah sisi eksekutif dari pemerintah.
4.    Pokok kajian ilmu administrasi publik klasik adalah:
a.    meluruskan alur pemerintah (apa yang pemerintah dapat lakukan dengan baik dan berhasil),
b.    membuat urusan-urusan pemerintah lebih seperti bisnis (seefisien mungkin dan dengan sehemat mungkin). 
5.    Bidang administrasi terpisah dari politik.
6.    Bidang administrasi adalah suatu bidang bisnis.
7.    Administrasi bukan sekedar suatu instrumen pasif tetapi terkait sangat erat dengan studi tentang distribusi yang tepat dari otoritas dan tanggung jawab.
8.    Prinsip utama administrasi publik adalah sensitif terhadap opini publik.
9.    Administrasi publik tidak memerlukan aparatur birokratik yang bersifat permanen.
10.    Administrasi publik harus mampu mengkombinasikan kebebasan dengan ketergantungan dan kooperasi dalam system pemerintahan multi-tingkat.
Sumber : http://ikamullahakmal.blogspot.com/2013/03/aministrasi-kelasik.html

2.    ADMINITRASI EFISIENSI DAN EFEKTIF
Efisiensi adalah berhubungan dengan rasio output dengan input atau keuntungan biaya.
(Drs. Ulbert Silalahi, M.A, Studi Tentang Ilmu Administrasi, 2007, hal 128)
Efisiensi menurut H. Emerson : perbandingan yang terbaik antara input dan output, antara keuntungan dengan biaya, antara hasil pelaksanaan dengan sember-sumber yang digunakan dalam pelaksanaan, seperti halnya juga maksimum yang dicapai dengan penggunaan sumber yang terbatas. Dengan kata lain hubungan antara apa yang telah diselesaikan dengan apa yang harus diselesaikan. (Drs. Soewarno Handayaningrat, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen, 1990, hal 15)
Efisiensi adalah tingkat perbandingan antara masukan (input)  dengan hasil (output) yang dicerminkan dalam rasio atau perbandingan diantara keduanya. Jika output lebih besar dari input maka dapat dikatakan efisien dan sebaliknya jika input lebih besar dari output maka dikatakan tidak efisien. Jadi tinggi rendahnya efisien ditentukan oleh besar kecilnya rasio yang dihasilkan. (Riki Satia Muharam, Administrasi Negara (Catatan Kuliah), 2005, hal 158)
Efisiensi kerja merupakan pelaksanaan cara tertentu dengan tanpa mengurangi tujuannya merupakan cara yang:
1.    termudah dalam melaksanakannya
2.    termurah dalam biayanya
3.    tersingkat dalam waktunya
4.    teringan dalam bebannya
5.    terendah dalam jaraknya. (Sedarmayanti, Tata Kerja dan Produktivitas Kerja, 1996, hal 130)
Efektivitas adalah yang berhubungan dengan tujuan organisasi baik secara eksplisit maupun implisit. (Drs. Ulbert Silalahi, M.A, Studi Tentang Ilmu Administrasi, 2007, hal 128)
Efektivitas menurut H. Emerson : pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. (Drs. Soewarno Handayaningrat, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen, 1990, hal 15)
Efektivitas adalah tingkat dimana organisasi dapat merealisasikan tujuan-tujuannya atau dengan kata lain pengukuran efektivitas dapat dilakukan dengan melihat sejauh mana organisasi mampu mencapai tingkat yang diinginkan. (Riki Satia Muharam, Administrasi Negara (Catatan Kuliah), 2005, hal 158)

3.    Pelayanan Publik dalam paradigma baru “The New Public Service”
Public servants do not deliver customer service; they deliver democracy (Para birokrat tidak bekerja untuk melayani pelanggan, tetapi untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi (Denhardt and Denhardt,2007).
Dalam arti bahwa landasan ideologi pelayanan publik tersebut memiliki harapan baru bagi penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, sebab era reformasi tata pemerintahan saat ini, bagi warga negara dianggap masih banyak hal-hal yang bukan dikehendaki oleh nilai-nilai warga, tetapi lebih berorientasi pada kepentingan dan keuntungan birokrasi pemerintah.
Beberapa permasalahan tentang ketidakpuasan kinerja pemerintah, keinginan dan harapan-harapannya tidak didengar, hak-haknya dipasung, aspek dan peluang publiknya dihambat, adanya dominasi hak rakyat, berisi keras kepada rakyat, bertindak represif dan lupa bahwa kedaulatan ini adalah milik rakyat, bahkan pilihan untuk kebutuhan-kebutuhan publik dan suara demokrasi yang substantif telah ditinggalkan atau diabaikan begitu saja bagi pejabat.
 Padahal mereka para pejabat publik ada, karena adanya rakyat yang memiliki hak suara sebagai instrumen penting dalam memulai wacana pemerintah ke depan. Secara praksis pemerintah dalam pelayanan publik harus memperhatikan ide brilian yang digagas oleh paradigma “the new public services” karena membawa pesan moral sebagaimana tuntutan masyarakat kontemporer dewasa ini. Paradigma the new public service (NPS) manakah yang diterapkan pemerintah dalam pelayanan publik? Apakah paradigma NPS cukup handal bagi pemerintahan di Indonesia dalam mengatasi persoalan-persoalan yang muncul dalam melayani warga negara? Atau sebaliknya keinginan warga negara dengan harapan yang begitu banyak berakhir di kekuasaan birokrasi yang birokratis mengandalkan hirarki, tidak efisien, tidak efektif, tidak transparan, bahkan berujung pada praktek-praktek patrimonial yang melindungi (memberikan hak-hak istimewa kepada seseorang) dan memihak pada afiliasi ras, suku, etnis, partai politik dan pemerintahan yang sedang berjalan  Menuju Paradigma The New Public Service(NPS).
Dengan demikian dari paradigma the new publicc service yang dipaparkan diatas, penulis berpendapat bahwa semua ini menekankan pada partisipasi warga negara dalam merumuskan program-program layanan publik yang berpihak pada kebutuhan warga negara, memiliki hak yang sama, memberi ruang bagi partisipasi publik dan transparansi para penyedia layanan dalam menghadapi warga negara, akuntabilitas sesuai dengan program, norma dan implementasi yang dijalankan lembaga birokrasi selama ini.

4.    New Public dalam Adminitrasi negara ( Paradigma Adminitrasi Negara)
Paradigma adalah corak berfikir menjadi konsep yang menarik perhatian ilmuwan sejak Thomas Kuhn menulis buku ”The Structure of Scientific Revolution”. Sungguh pun latar belakang Kuhn adalah bidang ilmu alam, namun pandangan paradigmatik Kuhn banyak mempengaruhi pengamat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan sosial, termasuk ilmu administrasi negara.
Untuk memahami perkembangan paradigma dalam ilmu administrasi negara, perlu diketahui  terlebih dahulu apa makna dari paradigma. Secara etimologis, kata “paradigm” berasal dari bahasa Yunani “paradeigma” yang berarti pola ( pattern) atau contoh (example). Oxford English Dictionary merumuskan paradigma sebagai “ a pattern or model, an exemplar”.
Secara umum paradigma diartikan sebagai :
•    Cara kita memandang sesuatu (point of view), sudut pandang, atau keyakinan (belief).
•    Cara kita memahami dan menafsirkan suatu realitas.
•    Paradigma seperti ‘peta’ atau ‘kompas’ di kepala. Kita melihat atau memahami segala sesuatu sebagaimana yang seharusnya .
American Heritage Dictionary merumuskan paradigma sebagai :
•    Serangkaian asumsi, konsep, nilai-nilai, dan praktek-praktek yang diyakini oleh suatu komunitas dan menjadi cara  pandang suatu realitas ( A set of assumptions, concepts, and values, and practices that constitutes a way of viewing reality for the community that shares them)
Thomas Kuhn :
•    Paradigma adalah suatu cara pandang , nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar, atau cara memecahkan sesuatu masalah , yang dianut oleh suatu masyarakat ilmiah pada masa tertentu.
Menurut Thomas Kuhn , krisis akan timbul apabila suatu permasalahan yang dihadapi masyarakat tidak dapat dijelaskan atau tidak dapat dipecahkan secara memuaskan dengan menggunakan pendekatan suatu paradigma. Krisis ini akan mendorong suatu “scientific revolution” di kalangan masyarakat ilmuwan untuk melakukan penilaian atau pemikiran kembali paradigma yang ada dan mencoba menemukan paradigma baru yang dapat memberikan penjelasan dan alternatif pemecahan yang dihadapi secara lebih memuaskan.

5.    Partisipasi Masyarakat Dalam Adminitrasi Negara
Partisipasi masyarakat harus diikutsertakan dalam proses menghasilkan public good atau services dengan mengembangkan pola kemitraan dan kebersamaan dan bukan semata-mata dilayani. Untuk itulah kemampuan masyarakat harus diperkuat (empowering rather than serving), kepercayaan masyarakat harus meningkat dan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi harus ditingkatkan.
Upaya pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha, peningkatan partisipasi dan kemitraan sangat memerlukan keterbukan birokrasi pemerintah, juga disamping itu memerlukan langkah-langkah yang tegas dalam mengurangi peraturan dan prosedur yang menghambat kreativitas dan aktivtas mereka dan memebri kesempatan kepada masyarakat untuk dapat berperan serta dalam proses penyusunan peraturan kebijaksanaan, pelaksanaan, pengawasan pembangunan.
Inti dari perubahan peran dan orientasi administrasi publik adalah bahwa bentuk organisasi birokrasi yang ada sekarang harus berubah sesuai dengan tuntutan perubahan itu sendiri, yaitu bentuk organisasi yang terbuka, fleksibel, ramping atau pipih (flat), efisiensi dan rasional, terdesentralisasi, kaya fungsi miskin struktur sehingga memungkin organisasi birokrasi lebih cepat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Bahkan menurut Mc Kinsey (Kristiadi:1997) desain organisasi kedepan dicirikan oleh 7 S, yaitu:
1.    system,
2.    structure,
3.    strategy,
4.    staff,
5.    skill,
6.    leadership style, dan
7.    share value.

Ternyata untuk membuat sebuah Blog, GAMPANG Jhe.. hehehehehe :p :P :p untuk kalian yang Sirik .. Pergi BAKAR LAUT sana... hahahaha Bercanda Jhy ^^

Ternyata untuk  membuat sebuah Blog, GAMPANG Jhe.. hehehehehe :p :P :p

untuk kalian  yang Sirik .. Pergi BAKAR  LAUT  sana... hahahaha


Bercanda Jhy ^^